Seoul – Para dokter di Korea Selatan melakukan pemogokan massal. Mereka memprotes banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, jam kerja yang terlalu banyak, bayaran yang rendah, dan tidak pernah didengarkan aspirasinya. Situasi yang dihadapi para dokter junior bahkan bisa jauh lebih buruk.
“Sistem medis di Korea Selatan saat ini, yang sangat bagus, dijalankan dengan membuat para dokter magang yang murah terus bekerja keras,” kata dokter Ryu Ok Hada kepada Reuters pada hari Senin (26/2).
Menurut Korean Intern Resident Association, dokter magang dan dokter residen di Korea Selatan bekerja dalam shift 36 jam, dibandingkan dengan shift kurang dari 24 jam di Amerika Serikat. Laporan tersebut menyatakan separuh dokter muda AS bekerja 60 jam seminggu atau kurang, sementara dokter Korea sering bekerja lebih dari 100 jam.
Sebagai dokter junior, Ryu mengatakan ia bekerja lebih dari 100 jam seminggu di salah satu rumah sakit universitas paling bergengsi di negara itu. Atas kerja kerasnya itu, ia hanya mendapat bayaran 2 juta won hingga 4 juta won (Rp23 juta-Rp46 juta) sebulan. Nilai itu sudah termasuk upah lembur.
Sementara itu dokter Park Dan, Ketua Asosiasi Residen Magang Korea, ingin pihak berwenang memasukkan dokter ke dalam disiplin ilmu penting seperti pediatri dan unit gawat darurat di rumah sakit besar. Ia minta para dokter dapat perlindungan hukum yang lebih baik dari tuntutan malpraktek dan perubahan sistem di mana banyak rumah sakit bergantung pada tenaga kerja berupah rendah.
Akibat pemogokan ini, banyak rumah sakit telah menolak pasien dan membatalkan operasi. Ruang gawat darurat di lima rumah sakit terbesar di Korea Selatan berada dalam status “siaga merah” pada hari Minggu (25/2), yang berarti mereka kehabisan tempat tidur.