Jakarta – Majalah berita dan peristiwa internasional, “The Economist” melaporkan, bahwa Pemilu 2024 adalah yang paling tidak demokratis, sejak Orde Reformasi tahun 1998.
Ketua Tim Demokrasi Keadilan (TDK) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis menuturkan, penyelenggaraan Pemilu 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019 bukan tanpa masalah, tapi Pemilu 2024 paling banyak masalah.
“Paling banyak kecurangan, paling terstruktur, sistematis, dan paling massif. Jadi, saya sedih, mestinya pada Pemilu 2024 ini kita bisa melakukan konsolidasi demokrasi lebih kuat, lebih bagus, dan Indonesia tetap sebagai negara demokrasi dilihat dunia,” lanjutnya.
Pasalnya, demokrasi di Amerika Serikat (AS) juga bermasah, terbelah dan konflik sangat tajam. Tuduhan kecurangan juga ada. Pun demikian dengan demokrasi di India.
Diketahui, AS, India, dan Indonesia adalah tiga negara negara demokrasi terbesar di dunia. Kalau di Asean, menurut Todung, Indonesia berbangga karena relatif baik, tapi posisi ini menurun pada Pemilu 2024, karena menjadi langkah mundur dan tidak gampang untuk mengembalikannya.
“Indonesia memang perlu pemimpin yang kuat, tapi tidak butuh tangan besi untuk mengelola Indonesia,” tegas mantan Duta Besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia.
Tokoh gerakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia itu menyebut, sejumlah faktor membuat Pemilu 2024 sebagai pemilu paling tidak demokratis.
Menurut dia, selama lima bulan pelaksanaan kampanye, banyak intervensi kekuasaan dalam proses Pemilu 2024 sejak pra-pencoblosan hingga pasca-pencobolosan.
Salah satu contoh, intervensi kekuasaan itu adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 tentang Batasan Usia Calon Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini menjadi ‘karpet merah’ bagi anak Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto.
Jokowi Tergelincir
Pada kesempatan itu, Todung mengaku sebagai pendukung Jokowi pada masa lalu dan menaruh harapan besar kepada mantan Wali Kota Solo itu karena bukan berasal dari kalangan elite politik.
Dia bercerita sempat membantu Jokowi dalam dua kasus hukum saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. Memang, ujarnya, Jokowi membangun infrastruktur, tapi keberhasilan pembangunan fisik itu tidak disertai membangun demokrasi.
“Malah dia tergelincir, membiarkan abuse of power terjadi malah dia ikut sendiri dalam permainan kontestasi politik ini,” tukas Todung.
Dia mengingatkan ketika Jokowi mengatakan, bahwa presiden boleh berkampanye. Padahal, dia tidak sedang ikut Pemilu 2024.
“Dia tidak ikut pilpres, jika ikut berebut jabatan presiden, dia kampanye, tapi dia sudah selesai dua periode. Seharusnya dia berada di atas semua golongan kalau menjadi negarawan. Tapi kelemahan hukum presiden tidak dilarang kampanye, tapi secara etika dia harusnya berada di atas semua paslon dan parpol,” kata Todung.