Depok – Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) memperkirakan target penurunan kemiskinan ekstrem 0% -1% pada 2024 yang dicanangkan Presiden Joko Widodo melalui Instruksi Presiden No.4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, sulit tercapai.
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Yanu Endar Prasetyo, mengungkapkan tingkat kemiskinan ekstrem pada 2023 turun sekitar 0,90% dibandingkan tahun 2022. Ini artinya, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia tersisa 1,12%.
“Akan tetapi, target yang dicanangkan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’aruf Amin akan mengalami tantangan yang cukup berat dengan situasi yang ada sekarang. Kemenko PMK pun memprediksi tingkat kemiskinan ekstrem turun menjadi 0,5% pada tahun 2024,” kata Yanu di Depok, Minggu (25/2).
Menurut Yanu, Bank Dunia telah merevisi garis kemiskinan ekstrem dari US$ 1,90 menjadi US$ 2,15 per kapita per hari. Dengan menggunakan angka US$ 2,15 per kapita per hari maka pemerintah kemungkinan hanya dapat menurunkan angka kemiskinan ekstrem di level 2,5%. Artinya, semakin jauh dari target nol persen pada 2024.
Yanu mengungkapkan ketika standar hidup kemudian naik, maka, angka kemiskinan juga kembali naik. Hal ini menjadi tantangan. Ketika Indonesia mengikuti standar baru dari Bank Dunia, dia memperkirakan pemerintah hanya bisa menurunkan angka kemiskinan ekstrem di level 2,5% pada tahun 2024 ini.
“Jadi itu adalah problem pertama, yang kedua, sebenarnya terkait dengan strategi pemerintah. Dalam mengatasi kemiskinan ekstrem, biasanya kan mereka (pemerintah) mengeluarkan kebijakan terkait pengurangan beban pengeluaran. Ini lewat jamsos, bansos, subsidi. Lalu juga meningkatkan pendapatan dan juga menurunkan jumlah tambah kemiskinan,” tutur Yanu yang meraih gelar PhD Bidang Sosiologi Pedesaan dari University of Missouri, Columbia, AS.
Yanu kemudian merefleksikan kondisi saat ini dengan penyaluran bansos. Menurutnya, jika membandingkan dengan periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2014, angka kemiskinan bisa turun sekitar 5,7% dengan strategi bantuan sosial (bansos) dan kebijakan lainnya.
“Tapi ketika Pak Jokowi periode 2014 sampai sekarang, angka kemiskinan kita hanya bisa turun 1,4% dengan bantuan sosial yang demikian besar. Artinya ada pertanyaan tentang efektivitas bansos untuk mengatasi kemiskinan ekstrem karena hanya berhasil turun 1,4% dari hampir 10 tahun periode Pak Jokowi,” lanjut Yanu menekankan.
Dia berpendapat hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah. Tantangan tersebut yakni mencari strategi apakah bansos yang selama ini disalurkan itu sudah efektif? Atau, memerlukan strategi lain yang lebih tepat untuk mengatasi kemiskinan secara umum dan kemiskinan ekstrem di Indonesia?
“Jadi, seharusnya pemerintah fokus pada perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, lalu bagaimana sektor-sektor padat karya ditingkatkan sehingga ada multiplier effect yang mendorong daya beli masyarakat,” tutur Yanu, yang juga salah satu penulis buku ‘Dilema Bansos’.
“Jangan sampai efeknya ada bantuan pangan tapi kemudian ada kelangkaan beras di pasar, atau kenaikan harga beras yang begitu tinggi. Artinya hal-hal seperti ini, memang perlu menjadi perhatian agar angka kemiskinan ekstrem tidak naik dan bisa ditekan dengan bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja, serta subsidi tepat sasaran,” tukasnya.
Selain kemiskinan ekstrem, Yanu menilai penanggulangan kemiskinan secara umum juga belum bisa memenuhi target 7,5% pada 2024.
Berdasarkan penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, angka kemiskinan nasional masih mencapai 9,36%, sementara target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah sebesar 6,5-7,5%. Artinya, masih kurang 2% lebih untuk mencapai target yang ditetapkan.
Seperti diketahui, kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial. Seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan ekstrem (US$ 1.9 Purchasing Power Parity). ()