Depok – Akademisi dan peneliti mendesak adanya reformasi dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) oleh pemerintah. Hal tersebut agar tidak terjadi lagi politisasi bansos dan pembagiannya tepat sasaran.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti menyoroti penyaluran bantuan sosial (bansos) secara masif menjelang Pemilu 2024. Dia menilai perlunya mengatur Undang-Undang (UU) Kepresidenan secara rinci agar politisasi bansos tidak terjadi lagi.
“Ini yang perlu kita atur kedepannya. Soal-soal seperti ini supaya tidak terjadi lagi politisasi bansos. Saya kira kita perlu mengatur UU Kepresidenan secara rinci. UU Pemilu kita sekarang ini kan nggak rinci. Presiden, kepala negara harus berdiri di atas golongan kelompok masyarakat,” ujar Valina dalam orasi akademisnya pada seminar Kebijakan Publik Dies Natalis FISIP UI ke-56 di Kampus UI Depok, Jawa Barat.
Cawe-cawe presiden dalam pembagian bansos telah menyiratkan keberpihakan presiden terhadap paslon tertentu. Menurut Valina, politisasi bansos efektif dalam mendulang suara.
“Kita mengetahui persoalan demokrasi kita adalah ketidaksetaraan dalam akses sumber daya ekonomi maupun sumber daya politik. Hal ini kemudian menyebabkan mereka yang menguasai kapital mempunyai akses lebih luas terhadap politik,” tuturnya.
Meninjau hal ini, Valina berpendapat, bahwa ketidakberdayaan masyarakat secara ekonomi justru dieksploitasi oleh mereka yang lebih mengerti tentang pemilihan umum.
“Bayangkan saja-bukan merendahkan- tapi beras itu sekarang harganya Rp 20.000 per kg. Kemudian dikasih beras satu karung dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang jumlahnya dirapel dan dimajukan sehingga nilai BLT menjadi Rp 600.000, tentu ini merupakan jumlah yang banyak bagi masyarakat di desa,” ujar Valina.
Perencanaan & Implementasi Dilembagakan
Secara terpisah, peneliti pusat riset kependudukan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo, menyoroti pembagian bansos di sekitar istana oleh Presiden Jokowi, beberapa waktu lalu. Menurutnya pembagian seperti ini tidak tepat sasaran karena tidak berdasarkan data.
“Perencanaan dan implementasi bansos sebaiknya dilembagakan pada suatu kekuatan. Kemarin kita melihat Presiden Jokowi bagi-bagi bansos di sekitar istana, cara seperti ini kan tidak tepat,” papar Yanu yang merupakan salah satu penulis buku ‘Dilema Bansos’.
Yanu mengungkapkan kunjungan kerja Presiden Jokowi yang membagikan bansos semakin terpola sejak penetapan calon presiden dan calon wakil presiden. Sebanyak 36 titik kunjungan kerja Presiden Jokowi tersebut dimulai sejak 13 November 2023 hingga awal Februari 2024.
Saat melakukan kunjungan kerja, Presiden Jokowi selain membagikan bantuan pangan (CBP beras 10 kg), juga menyalurkan Program Indonesia Pintar (PIP), bantuan sembako, menyambangi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)- Kartu Indonesia Sehat (KIS), bagi-bagi sertifikat tanah, mendistribusikan Bantuan Tunai Langsung (BTL) pedagang pasar, dan BLT Puso untuk petani.
Yanu mengungkapkan, 36 titik kunjungan kerja Presiden ini dapat diakses secara terbuka di laman resmi Presiden Republik Indonesia, https://www.presidenri.go.id. Disebutkan, agenda Presiden sebelum penetapan paslon Pilpres 2024 biasanya cukup beragam.
“Tetapi, sejak 13 November 2023, setelah penetapan calon presiden dan calon wakil presiden sampai jelang pencoblosan, kunjungan kerja Presiden cenderung memiliki pola yang seragam, misalnya datang untuk membagikan Bansos, PIP, cadangan pangan (BLT Puso), BLT pedagang pasar dan sertifikat tanah,” lanjutnya.
Menurut Yanu, titik yang selalu didatangi Presiden Jokowi untuk membagikan bansos yaitu, Gudang Bulog, sekolah atau lembaga pendidikan, pasar dan ruang pertemuan (terbuka/tertutup) berskala cukup besar seperti lapangan atau kantor kecamatan.
Melalui buku yang disusun berdasarkan tata kelola bansos pada masa pandemi, Yanu bersama enam penulis lain mendorong urgensi reformasi bansos secara menyeluruh. Sebab, menurut Yanu, sejak reformasi 98, bansos sebagai jaring pengaman sosial saat krisis moneter 97-98 tidak memiliki road map yang jelas.