Depok – Kualitas demokrasi Indonesia dinilai mengalami kemunduran. Pengendalian terhadap lembaga-lembaga demokrasi utama seperti media dan peradilan dilihat sebagai tanda peringatan erosi demokrasi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti dalam seminar Kebijakan Publik, dalam rangka Dies Natalis ke-56 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI Depok, Jawa Barat.
Menurut Valina, dirinya melihat pengendalian terhadap lembaga-lembaga demokrasi utama seperti media dan peradilan sebagai tanda peringatan erosi demokrasi. Ketika lembaga ini dirusak atau dikendalikan oleh para pemimpin politik, akan menimbulkan ancaman terhadap demokrasi.
“Persoalan kebebasan sipil, ketiadaan checks and balances di DPR dan pemerintahan, pragmatisme dan etika politik, menguatnya oligarki politik dan dinasti politik, serta high cost politic dan korupsi menjadi sebab akibat dari menurunnya kualitas demokrasi,” jelasnya.
Bobot penilaian terhadap demokrasi Indonesia yang dibuat oleh berbagai lembaga indexing demokrasi, menurut Valina, menunjukkan Indonesia tidak lagi berstatus sebagai negara demokrasi yang penuh (fully democracy).
“Freedom House menempatkan Indonesia pada status negara ‘setengah bebas’ (partly free) sejak 2015. Demikian pula IEU memberi label Indonesia sebagai ‘flawed democracy’. Bertellsman Transformation Index bahkan mencatat penurunan kebebasan sipil politik sudah terjadi sejak 2007 dan mengkategorikan Indonesia sebagai ‘defective democracy’,” paparnya.
Yang menarik, lanjut Valina, IDEA selalu menempatkan pemilu sebagai indeks peningkat skor demokrasi karena dalam pemilu ada variabel representative government dan electoral participation. “Penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu (secara prosedural) selalu menjadi variabel yang menambah skor demokrasi Indonesia,” lanjut Valina menjelaskan.
Akan tetapi, menurut Valina, jika melihat pada penyelenggaraan pemilu 2024, agaknya pemilu tidak lagi menjadi indeks peningkat skor demokrasi. Pelaksanaan tahapan pemilu diwarnai malpraktek (manipulasi aturan, manipulasi suara dan manipulasi voters). Kemandirian, independensi, integritas dan profesionalisme panyelenggara pemilu mengalami kemunduran.
“Sebenarnya, meskipun pemilu diselenggarakan pada konteks demokrasi yang buruk, penyelenggara pemilu dapat mengambil peran sebagai ‘penyelamat demokrasi’ Indonesia (the last resort) dengan menghadirkan election with integrity (Koffi Annan, 2012),” tutur Valina.
Ia mengatakan tata kelola pemilu dengan election with integrity mengacu kepada moral values dan democratic values seperti: ethical behaviour, fairness, impartiality, accuracy, transparency dan accountability.
“Sayangnya ini juga tidak terjadi, justru diwarnai malpraktek pemilu, sehingga kerusakan demokrasi dapat dikatakan telah berlangsung pada hampir segenap sektor lembaga-lembaga demokrasi,” imbuhnya.
Di tengah kemunduran demokrasi ini, Valina mengungkapkan masih ada beberapa langkah strategis untuk memperbaikinya. Pada konteks politik makro perbaikan harus dilakukan terutama reformasi partai politik dan penguatan etika politik, perbaikan kesetaraan akses pada sumber daya ekonomi dan politik, penguatan masyarakat sipil dengan memperkuat pendidikan politik dan pendidikan demokrasi.
Sementara itu, pada konteks pemilu ada beberapa langkah stategis yang dapat dilakukan, antara lain: perbaikan sistem rekruitmen penyelenggara pemilu, perbaikan kerangka hukum pemilu, termasuk sistem dan teknis penyelenggaraan pemilu dan perbaikan tata kelola pemilu dengan mengedepankan moral values dan democratic values.