Jakarta – Sebagai salah satu partai “lama” yang memiliki basis massa besar, sudah sewajarnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) difavoritkan menjadi salah satu pendulang suara terbanyak. Sayangnya yang terjadi dalam Pemilu 2024 tidaklah demikian. PPP nampak kesulitan bersaing dengan PDI Perjuangan dan Golkar yang sama-sama partai lama. Bahkan kalah dengan partai seperti Gerindra, PKS, Demokrat, dan Nasdem yang terbilang baru.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menyatakan keheranannya melihat fenomena ini. Pasalnya, selain partai lama, PPP juga memiliki dua modal besar untuk bersaing. Pertama, basis massa PPP identik dengan warga Nahdlatul Ulama (NU) kultural yang jumlahnya banyak. Kedua, PPP dalam Pemilu kali ini mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Mengingat Mahfud adalah salah satu sosok yang menjadi simbol NU, mustinya ada coat tail effect yang didapat sebagai booster mendongkrak suara.
“Minimal bila Ganjar identik dengam PDI-P, maka Mahfud bisa diarahkan untuk dijadikan sosok dari PPP. Sehingga mesin partai semakin optimal meraih suara,” ucap Agung.
Agung menilai hal ini terjadi karena kurang maksimalnya mesin partai. Atau bisa juga disebabkan ketiadaan tokoh dengan magnet politik kuat di PPP.
Menurut hitung cepat beberapa lembaga survey pada Jumat (17/2/2024) pukul 22.24 WIB, perolehan suara partai berlambang Kabah itu berada di angka 3,66 hingga 3,88 persen. Jika perolehan suara tak bertambah, PPP akan terlempar dari parlemen karena tidak mampu memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang ditetapkan sebesar 4 persen, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Jika pada Pemilu 2024 perolehan suara PPP tak bisa menembus 4 persen, maka hal itu menjadi sejarah buat pertama kali mereka terlempar dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).