Menyaksikan kampus demi kampus menyuarakan petisi keprihatinan, seperti mengingatkan saya akan kejadian jelang rezim Soeharto tumbang.
Sebagai jurnalis yang bekerja di media pemberitaan di salah satu stasiun televisi swasta, tahun 1997 hingga 1998 adalah periode terpanjang dalam hidup saya.
Setiap saat harus siap diterjunkan ke berbagai wilayah yang bergejolak menentang kebengisan rezim Orde Baru. Rengasdengklok di Jawa Barat yang berada di pinggiran Jakarta meletup kerusuhan rasial menjadi tugas awal saya.
Sebelumnya saya sudah “kenyang” dengan aksi-aksi perlawanan massa PDI menentang intervensi pemerintah di seantero Tanah Air.
Sementara di Jogyakarta, perlawanan mahasiswa begitu masif dilakukan berbagai kampus. Institut Seni Indonesia atau ISI Yogyakarta menggelar aksi teatrikal “Mas Wiranto” alias Masyarakat Wirobrajan Anti Soeharto.
Universitas Janabadra juga nekad mulai turun ke jalan, sementara aktivis Universitas Gadjah Mada (UGM) mulai mendapat tindakan keras dari aparat. Saya menjadi saksi kebrutalan aparat saat menyerbu Universitas Sanata Dharma sehingga gugurnya mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Moses Gatotkaca.
Saya bersama juru kamera sempat terkurung di atap Toko Merah – toko yang dindingnya berkelir merah – di Kawasan Gejayan karena aparat merangsek maju ingin membubarkan demo mahasiswa yang memblokade dan menyandera anggota DPRD Jogya.
Penayangan berita yang saya buat mengenai “Mas Wiranto” dan lolos sensor dari Komisi Siaran yang berisi para personel militer serta sengaja ditempatkan Pusat Penerangan ABRI (kini TNI) di stasiun televisi swasta, tidak urung bermasalah.
Bos tempat saya bekerja, diminta menyediakan sofa ruang tamu seorang menteri sebagai imbal balik tidak adanya teguran keras dari departemen yang dipimpinnya. Suasana jelang “jatuhnya” Soeharto begitu mencekam. Satu per satu kampus menyuarakan keprihatinannya. Saya mendapat penugasan saat mahasiswa dan civitas akademika Universitas Indonesia (UI) menggelar aksi demo di Kampus Salemba, Jakarta, 25 Februari 1998.
Papan Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru ditutup kain putih oleh mahasiswa. Tidak hanya itu, massa aksi juga melakukan hal yang sama pada papan bertuliskan serupa yang terpasang di dekat Masjid Arief Rachman Hakim dengan cat semprot warna hitam.
Aksi mahasiwa dan akademisi UI tersebut oleh media massa dianggap sebagai aksi pertama yang menyetuskan ide reformasi. Dikatakan sebagai peristiwa pencetus bukan karena menjadi aksi pertama, tetapi aksi ini disorot secara luas oleh media nasional. Keesokan harinya, 26 Februari 1998, saya masih meliput aksi demonstrasi mahasiswa UI di kampus UI Depok.
Saya begitu antusias meliput aksi-aksi mahasiswa UI, mengingat saya pernah berkuliah rangkap S-1 di Jurusan Kimia Fakultas Matematika UI maupun di Fakultas Hukum UI. Kali ini sasaran mahasiswa adalah menutup tugu selamat datang ke kampus UI dengan kain putih yang bertuliskan “Kampus Perjuangan Rakyat”.
Kali ini sasaran mahasiswa adalah menutup tugu selamat datang ke kampus UI dengan kain putih yang bertuliskan “Kampus Perjuangan Rakyat”. Selain itu, mahasiswa juga membentangkan spanduk bertuliskan: “Turunkan harga; Hapuskan monopoli, korupsi dan kolusi; Tegakkan kedaulatan rakyat; Tuntut suksesi kepemimpinan nasional; Mahasiswa dan rakyat bersatulah” di depan Markas Komando Resimen Mahasiswa UI.
Suatu ketika, saya mengusulkan ke rapat redaksi agar diperbolehkan meliput aksi demonstrasi mahasiswi Akademi Sekretaris Tarakanita di Kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Awalnya saya ditertawakan karena dianggap liputan “cemen”.
Padahal, menurut saya, jika Tarakanita turun ke jalan, maka keberanian untuk menentang Soeharto sudah menjalar ke siapa saja, tanpa kenal takut.
Insting saya ternyata tepat. Petang harinya usai mahasiswi Tarakanita berunjuk rasa, kawasan Kali Malang membara karena ada pertokoan yang dibakar massa “siluman”.
Listrik di sekitaran Kali Malang padam total. Warga banyak yang berjalan kaki karena ketiadaan angkutan umum beroperasi. Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang berada di Cawang, juga meluapkan kebenciannya terhadap Soeharto dan kroni-kroninya dengan aksi turun ke jalan.
Suara-suara kampus yang bergejolak di penghujung kejatuhan Soeharto adalah gambaran betapa kegelisahan kaum cerdik cendikiawan merefleksikan apa yang dirasakan rakyat. Mereka bukan partisan. Terlalu merendahkan martabat keilmuan dan kepakarannya jika para pendidik dianggap memiliki agenda dan skenario membela tokoh-tokoh yang melawan rezim Orde Baru.
Uniknya, orang-orang yang berdiri gigih membela Soeharto saat itu masih bercokol hingga kini tanpa dosa serta mentrasformasi dirinya sebagai tokoh yang “bersih” tanpa noda.
Di salah satu kampus tempat saya mengajar di Program Pascasarjananya, Universitas Islam Bandung (Unisba) mengeluarkan pernyataan sikapnya di Bandung, 5 Februari 2024 lalu. Pernyataan yang dibacakan Rekor Unisba, Profesor Edi Setiadi menyebut sebagai “ulil amri” Presiden Jokowi hendaknya menjadi suri tauladan dengan menunjukkan proses pembentukan kepemimpinan yang baik.
Bertajuk “Satukan Tekad Selamatkan Demokrasi”, Unisba meminta Jokowi seharusnya mementingkan legacy, keteladanan dan etika sebagai presiden. Jokowi harus netral dan mengayomi masyarakat luas. Unisba juga menyoroti lemahnya penegakan pemberantasan korupsi.
Begitu pula petisi-petisi keprihatinan dari kampus-kampus lain – hingga tulisan ini diturunkan – sudah lebih dari 50 perguruan tinggi yang menyuarakan keprihatinannya terhadap sikap Jokowi.
Sebagai alumni dari UI dan Universitas Padjadjaran serta mengajar di berbagai kampus, saya kenal betul dengan para guru besar dan akademisi yang bersuara lantang. Mereka adalah sosok yang bersahaja, dihormati para mahasiswanya karena keluasan ilmunya. Mereka tidak terafiliasi dengan partai atau pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Keseharianya mengajar, meneliti dan pengabdian. Sangat di luar “nurul” jika ada seorang menteri yang membanggakan dirinya pernah menjadi ketua badan eksekutif mahasiswa di era reformasi – walau saya lacak profilnya tidak terdata kiprahnya – menuduh suara-suara akademisi yang menyuarakan keprihatinan akhir-akhir ini adalah bagian dari skenario paslon tertentu.
Menuduh mereka sebagai partisan sama saja mengingkari dirinya baru saja lulus dari bimbingan para guru besar di program doktoralnya.
Sebagai bagian civitas akademika, tentu sang menteri paham dengan kehidupan kampus yang menjunjung tinggi kejujuran. Mengedepankan etika dan moral dalam setiap aspek kehidupan. Demikian juga pandangan sumir dari seorang jurnalis yang telah menamatkan S-3, hanya karena keluar dari tim pemenangan paslon dan terlibat aktif di paslon lain lantas menganggap suara-suara kampus sebagai pendapat individu.
Sebagai dosen yunior tentu pendapatnya tidak sahih karena berpijak pada kepentingan pilihan politiknya. Justru inilah yang nyata-nyata tergolong partisan. Guru besar gelisah, akademisi gundah, mahasiwa bingung dan rakyat pun juga “kelimpungan” dengan ketidakpantasan yang diperlihatkan dengan “tanpa tedeng aling-aling” oleh Jokowi dan para pembantunya.
Usai mengenyampingkan etika dengan mendorong anaknya, Gibran Rakabuming, menjadi calon wakil presiden melalui Mahkamah Konstitusi, Jokowi terlihat begitu tidak sabaran ingin memenangkan kontestasi Pemilihan Presiden atau Pilpres dalam satu putaran.
Beragam cara ditempuh untuk memuluskan kemenangan sang anak. Presiden begitu sayang terhadap anaknya, tetapi sebaliknya malah mencampakkan rasa sayangnya terhadap rakyat. Hampir semua penjabat kepala daerah seperti diorkestrasi untuk memenangkan Paslon tertentu. Sampai-sampai Penjabat Gubernur DKI Jakarta membagikan bantuan sosial dalam kantung yang identik dengan warna logo Paslon tertentu (Limapagi.id, 8 Februari 2024).
Kementerian Komunikasi dan Informatika memasang baliho yang identik dengan warna paslon dukungan sang menterinya. Tidak hanya cara “halus”, cara kasar pun ditempuh aparat. Alih-alih mengedepankan netralitas, dengan alasan ingin menyejukkan suasana aparat polisi meminta dukungan rektor-rektor untuk membuat rekaman video tentang keberhasilan pemerintahan Jokowi (Kompas.com, 8 Februari 2024).
Keberanian para menteri, para penjabat kepala daerah, para sekretaris daerah, para camat hingga para kepala desa mendukung tanpa malu Paslon tertentu di Pilpres 2024 tentu tercetus karena melihat junjungannya yang bernama Presiden Jokowi juga melakukan hal serupa.
Mengacungkan dua jari di atas mobil kepresidenan, membagikan bansos dengan masif seiring dengan rajinnya menyambangi daerah dengan alasan meresmikan proyek, menemui Paslon tertentu, menemani anak bungsunya untuk konsolidasi partai hingga membiarkan para menterinya untuk bebas berkampanye adalah gambaran betapa etika memang tiada lagi menjadi pegangan.
Etika menjadi barang mahal di era sekarang ini. Lengkap sudah di negeri yang Ketua Mahkamah Konstitusinya melanggar etika berat, Ketua Komisi Pemilihan Umum dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi juga melanggar etika, maka jangan heran jika kepemimpinan nasional kita saat ini juga tuna etika.
Mau saya tabok rasanya
ketika kau enteng berdusta
soal dana gempa hingga esemka
Mau saya tabok rasanya
ketika kau seenaknya naikkan harga
menyusahkan jutaan rumah tangga
Mau saya tabok rasanya
ketika kau impor beras dan gula
petani hancur panen derita
Kini kau gadai lagi negara
ekonomi makin liar liberal buta
asing caplok semua bidang usaha
Mau saya tabok rasanya
agar kau lihat realita
bukan fatamorgana
Semoga puisi “Mau Saya Tabok Rasanya” karya Fadli Zon bisa mengingatkan dirinya untuk mau membuat puisi lagi. Khususnya yang mengupas persoalan hilangnya etika dan moral di negeri ini.
Penulis:
Dr. Ari Junaedi
Dikutip dari Kolom Kompas.com