Jakarta – Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah seperti zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Birokrasi dimobilisasi demi kepentingan pihak-pihak tertentu, bukan lagi berorientasi pada kepentingan rakyat.
“Sudah seperti zaman Pak Harto. Mobilisasi Golkar pada waktu itu, ya sudah terjadi (saat ini) dan hanya terjadi ketika kekuasaan itu otoriter. Sekarang sudah sempurna otoriternya dan presiden sudah seperti raja,” katanya dalam diskusi daring.
Didik kemudian membandingkan situasi ekonomi beberapa presiden yang pernah memimpin Indonesia. Presiden Soeharto meninggalkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp 50 sampai 60 triliun sebelum lengser. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) memulai dengan Rp 200 sampai Rp 500 triliun di akhir masa jabatannya.
“Pak SBY mulai dengan Rp 200 triliun, Rp 300, terakhir Rp 500 triliun sebelum lengser. Nah, Pak Jokowi ini karena ekonomi berkembang, sampai Rp 3.000 triliun,” tuturnya.
Jika dikaji dengan kondisi perpolitikan saat ini yang merupakan tahun politik, kata Didik Rachbini, APBN digunakan secara besar-besaran untuk pemberian bansos bantuan sosial.
“Sudah dibicarakan internal mereka untuk kepentingan istana, kepentingan kekuasaan, kepentingan kelanggengan. Memobilisasi anggaran sosial yang Rp 500 triliun itu untuk kepentingan politik. Ya memang tidak mudah membuktikan, tetapi ini sudah seperti kentut. Kentutnya ada, kita rasakan,” tambahnya.
Mencermati semua yang terjadi, Didik pun menganggap Pemilu 2024 yang paling tidak jujur sepanjang sejarah. Berbeda, misalnya, dengan Pemilu di era pencalonan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Ketika SBY menjabat, tidak ada kerabat atau keluarga yang maju untuk melanjutkan estafet pemerintahannya. Sementara saat ini, putra petahana Presiden Jokowi melenggang maju dalam kontestasi politik sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto.
“Yang paling bersih itu sebenarnya zaman SBY, karena SBY gak punya kepentingan. Anaknya belum mau menjadi presiden dan seterusnya. Jadi, teman-teman cendekiawan, mohon bisa secara kritis mencermati,” pungkasnya.