Surakarta – Ada-ada saja cara seniman dalam mengekspresikan diri dan pandangan hidupnya. Akhir pekan ini, sebuah komunitas Bernama ‘Solo Melawan Politik Amoral’ (Sempal) menggelar Performance Art berupa prosesi budaya Larung, di pinggir Sungai Bengawan Solo, tepatnya di pintu air Demangan, Kampung Sewu, Jebres, Surakarta. Tajuk pagelarannya ‘Larung Lesmana Mandra Kumara’ (Lesmana MK)
“Larung dalam tradisi jawa adalah proses menghanyutkan benda ke sungai atau laut. Benda tersebut bisa berwujud sesaji sebagai ungkapan syukur, namun bisa juga benda yang dianggap membawa kesialan atau sifat jelek,” kata salah seorang penampil acara, Abdul Azis.
Dalam performance Art kali ini, Larung lebih bermakna menghanyutkan sifat jelek yang membawa kesialan. Sifat jelek pada manusia dengan simbolisasi wayang Lesmana Mandra Kumara yang terbuat dari kardus berukuran 2 x 3 meter ke sungai Bengawan Solo.
Pilihan wayang Lesmana dipilih sesuai kisah pewayangan Maha Bharata. Alkisah, Lesmana Mandra Kumara (Lesmana MK) merupakan tokoh wayang yang terlahir dalam keluarga yang terkemuka.
Ayahnya, Prabu Duryudana alias Joko Witono adalah seorang raja besar di Hastinapura. Hidupnya serba tercukupi dan terpenuhi. Apapun permintaannya pasti dituruti. Sehari-hari, Lesmana dilayani dan dimanja. Hal ini menjadikan Lesmana sebagai pribadi yang manja, mau menang sendiri, egois dan tidak bisa apa-apa selain mengandalkan bapaknya yang seorang raja.
Lesmana tidak memiliki kesaktian sama halnya dengan ayah, paman, dan anggota keluarga lainnya. Hal ini menjadikan hidupnya tergantung pada paman-pamannya, dari bala kurawa. Sebagai anak raja, Lesmana malas belajar sehingga tidak memiliki pengetahuan moral dan etika kerajaan dengan baik. Dengan kemanjaannya sering bersikap congkak, ugal -ugalan dan mau menang sendiri yang membuat rakyat Hastinapura sering dibuat menahan marah.
Segala sifat jelek Lesmana MK: manja, mau menang sendiri, ugal – ugalan tak punya moral dan etika kerajaan inilah yang pada sore hari itu disimbolkan untuk dibuang dengan cara dihanyutkan (larung) karena bukan teladan yang baik bagi generasi muda.
“Sebagai Gerakan Melawan Politik Amoral, dalam Performance Art ini ‘Sempal’ bertujuan melakukan pendidikan moral pada masyarakat khususnya generasi muda agar tetap menjunjung tinggi nilai moral dan etika serta memiliki hidup yang bermartabat di masa mendatang,” lanjut Azis.
Ia menegaskan, pendidikan moral sangatlah penting, karena di tengah himpitan kesulitan ekonomi, sikap pragmatis menanggalkan nilai moral dan etika sering menjadi pilihan, dengan pemakluman “terpaksa” demi hidup. Akibatnya akan kehilangan martabat dan sifat kemanusiaan bahwa hidup adalah urusan bersama, bukan menang sendiri dan ugal-ugalan dengan menghalalkan segala cara.
Dengan Performance Art ini, ‘Sempal’ bersama seniman Surakarta berharap masyarakat dan generasi muda bisa memahami prosesi budaya membuang sifat-sifat jelek pada manusia dalam simbol wayang Lesmono.
“Selanjutnya bisa sadar dan membedakan mana tindakan bermoral dan mana tindakan tak bermoral, serta mampu tegas memberikan sanksi pada tindakan tak bermoral yang merusak tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.