Padang – Aliansi Sivitas Akademika Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat menolak berbagai bentuk praktik politik dinasti untuk melemahkan demokrasi dengan mengeluarkan manifesto atau pernyataan terbuka untuk penyelamatan bangsa.
Sebanyak 100 orang gabungan dosen dan mahasiswa universitas tertua di luar Pulau Jawa itu mengeluarkan lima pernyataannya terkait kondisi bangsa jelang Pemilu 2024.
“Kami menolak segala bentuk praktek politik dinasti dan pelemahan institusi demokrasi,” kata penggagas aliansi civitas akademika Unand, Hary Effendi Iskandar kepada wartawan, Selasa (2/2/2024) di kampus Unand Limau Manis Padang.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya itu mengatakan, pihaknya mendesak Presiden Joko Widodo tidak menggunakan kekuasaan yang berpotensi terjadinya segala bentuk praktik kecurangan Pemilu.
“Kami menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menegakkan aturan netralitas dalam Pemilu, serta menjalankan tugas sesuai amanah reformasi konstitusi,” beber Hary.
Selain itu, ia mendesak pemerintah mengembalikan marwah perguruan tinggi sebagai institusi penjaga nilai dan moral yang independen tanpa intervensi dan politisasi elit.
Terakhir, pihaknya mengajak masyarakat bersikap kritis dan menolak politisasi bantuan sosial untuk kepentingan politik status quo/kelompok tertentu dalam politik elektoral, kekerasan budaya, pengekangan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat serta penyusutan ruang sipil.
Menurut Hary, manifesto ini lahir sebagai bentuk persatuan civitas akademika dalam tekad bulat untuk mengembalikan peran mulia Perguruan Tinggi sebagai penjaga nilai-nilai dan benteng moral kebaikan serta keadilan di negeri ini.
“Kami menyaksikan dengan keprihatinan bagaimana peran perguruan tinggi sebagai pilar utama pembangunan intelektual dan moral, perlahan menyusut bahkan hampir menghilang selama satu dekade terakhir,” kata Hary.
Penyimpangan kekuasaan, sambung Hary, telah merajalela di seluruh lini kehidupan masyarakat. Termasuk di perguruan tinggi, telah menggoyahkan fondasi nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi.
Hary mencontohkan intervensi penguasa terhadap Mahkamah Konstitusi (MK), ketidaknetralan penyelenggara Pemilu, dan tidak independennya pejabat publik dari tingkat kementerian hingga kepala desa.
“Ini menjadi pemandangan ironis dalam tatanan demokrasi,” tutup Hary.