Jakarta – Saat perekonomian mulai bangkit paska pandemi, banyak BPR (Bank Prekreditan Rakyat) mengalami kebangkrutan. Banyak pihak menganggap hal itu diakibatkan belum pulihnya perekonomian masyarakat. Namun dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat (30/1), secara khusus Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa membantah.
“Kalau kita perhatikan dalam 18 tahun terakhir, rata-rata tujuh BPR bangkrut per tahun. Penyebab utamanya bukan karena kondisi ekonomi memburuk. Kebangkrutan BPR itu utamanya jutsru karena fraud. Dimaling sama pemilik banknya sendiri. Bukan kesalahan manjemennya ya. Karena kalau salah majemen, masih bisa diperbaiki,” katanya.
Walau demikian, Purbaya mengingatkan masyarakat agar tidak takut menyimpan dana di BPR. Apalagi kini sudah ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang memastikan dana nasabah tetap aman walau BPR mengalami kebangkrutan.
“Jadi kita selalu menjaga supaya masyarakat di perbankan tenang. Uangnya betul-betul terjamin. Jadi kami tahu kalau kami terlambat sedikit saja mereka sudah ribut. Bilang ‘jangan-jangan penjaminannya tipu-tipu’. Enggak, kami pastikan tidak seperti itu,” paparnya.
Hingga saat ini, LPS telah membayarkan hampir seluruh klaim penjaminan nasabah pada BPR yang ditutup alias bangkrut. Dana yang dibayarkan kepada nasabah pada tahun 2023 sebesar Rp 329,2 miliar. Jumlah tersebut setara dengan 92,6% dari total simpanan bank gagal sebesar Rp 355,4 miliar.
“Pembayaran BPR yang ditutup, pada dasarnya tahun 2023 sudah hampir semuanya. Hingga saat ini LPS telah membayarkan klaim penjaminan kepada para nasabah bank gagal sebesar Rp 329,2 miliar atau 92,6% dari total simpanan bank gagal tersebut sebesar Rp 355,4 miliar ini tahun 2023,” katanya.