Jakarta – Jawaban atas pertanyaan ini harus dimulai dengan premis bahwa dalam agenda politik kekuasaan, terlebih pada kontestasi pilpres, sulit untuk percaya segala sesuatunya terjadi secara alamiah dan serba kebetulan. Lebih mungkin, semuanya berlangsung by design dengan semua fraktal kunci yang dikendalikan.
Artinya, bergabungnya Prabowo di kabinet, ketegangan Medan Merdeka-Teuku Umar, kekeuhnya Jokowi mengusung Prabowo, deklarasi mendadak Ganjar, pencalonan Gibran dan seterusnya, lebih mungkin bukanlah peristiwa alamiah, melainkan kerja skenario yang terencana dan tereksekusi rapi sedari awal.
Lalu siapa pembuat design tersebut? dan dalam kepentingan apa? serta tentu saja untuk memenangkan siapa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus membongkar sepak terjang Jokowi dalam 9 tahun terakhir, tepatnya dalam 8 tahun awal pemerintahannya. Cukuplah kita ambil dua contoh, pada kebijakan politik luar negeri dan pengelolaan sumber daya alam misalnya.
Berbeda dengan banyak pendahulunya, arah kebijakan politik luar negeri Jokowi cenderung multipolar, artinya menempatkan meja diplomasi Indonesia pada posisi sejajar agar bisa berkawan dengan semua kekuatan ekonomi politik berpengaruh di dunia. Hal ini tentu sangat menggangu barat (baca: Amerika dan sekutunya) yang lama menganggap diri mereka sebagai tuan.
Pendulum pengelolaan sumber daya alam era Jokowi secara monumental bisa terlihat pada kebijakan terminasi dan pengambilalihan sejumlah blok migas yang lama dikuasai korporasi multinasional barat. Begitu pula divestasi Freeport serta yang terkini kebijakan hilirisasi yang ditentang barat habis-habisan.
Kue terbesar dari timur, meminjam istilah Jefry Winters dalam menggambarkan arti Indonesia bagi negara-negara barat pada masa awal neo-imperialisme mulai dipraktekkan itu mulai lepas dari kendali. Ya, kesengsaraan bagi bangsa Indonesia – sejak zaman imperialisme hingga neo-imperialisme masa kini – memang merupakan sumber kesejahteraan bagi bangsa barat.
Miliaran barel dan kubik migas, ribuan ton emas serta minerba lainnya disertai timbunan hutang dan penguasaan pasar ekonomi, dilengkapi pula instrumen dan paket kebijakan ekonomi politik penyerta, membuat pendarahan kekayaan bangsa terus berlangsung dan menjebak Indonesia menjadi negara selatan yang harus terus miskin dan bodoh.
Sebagai kekuatan utama dunia yang berpengalaman panjang dalam peralihan rezim di seluruh belahan dunia, baik melalui cara demokratis ataupun kudeta, Amerika tentu tak mungkin diam dan ingin memastikan kembalinya kepemimpinan politik yang memihak kepentingan mereka. Amerika memiliki perangkat (baca: proxy) yang lebih dari cukup untuk mendukung operasi tersebut, dari jenderal hingga intelektual, taipan hingga budayawan, politisi hingga pemuka agama.
Pembangunan ibu kota baru menjadi penabuh genderang, Jokowi yang semula dipandang sebagai sosok tengahan perlahan ditinggalkan sehingga kian merapat ke poros Peking. Sejak saat itu, Amerika bersiap menyambut pemimpin baru Indonesia bernama Anies Baswedan, pangeran barat yang kualifikasinya melebihi SBY, namun tak berdarah Indonesia asli, sembari memastikan pembangunan ibukota baru berjalan di tempat.
Upaya mendudukkan Anies tentu sulit terwujud jika Megawati dan Jokowi masih bersekutu, karena figur terkuatnya mestilah Ganjar Pranowo. Sosok nasionalis lain yang tak pernah bersekolah di Amerika atau menempuh pelatihan di west point, yang bahkan berkualifikasi lebih lengkap ketimbang Jokowi. Fraktal pemisahnya bernama Prabowo, sosok didikan Amerika namun tak pernah direstui. Bagi Amerika, Prabowo adalah megalomania yang bisa menerkam balik dan mereka tak ingin mengulang kisah Saddam Hussein.
Alur berikutnya mudah ditebak, Jokowi mendukung Prabowo dan memakan data palsu yang diumpankan untuk memasangkan Gibran anaknya menjadi Cawapres Prabowo. Karakter Jokowi yang sangat meyakini informasi dan data survey, membuatnya percaya diri berspekulasi atas trah nya sendiri. Ibarat pepatah, sekali mendayung, dua pulau ditenggelamkan.
Isu nepotisme yang dibumbui perubahan konstitusi di MK menjadi alat delegitimasi, disamping tentunya operasi ekonomi guna menekan instrumen ekonomi makro seperti inflasi, nilai tukar, pasar saham, dan pangan. Pengamat, pegiat demokrasi, aktivis baik secara spontan atau pun digerakkan, serentak menggelorakan suara penolakan.
Mengapa Ganjar Pranowo?
Terpilihnya Jokowi pada 2014 yang berlanjut menjadi dua periode bisa dipandang sebagai blessing bagi bangsa Indonesia. Buah kesalahan para garantor pemberi rekomendasi serta kelalaian SBY menyiapkan pengganti. Sosok yang semula dipandang sederhana dan mudah diatur namun ternyata nasionalis bermental baja. Figur yang awalnya dinilai boneka ternyata mengecewakan barat.
Desain kompetisi diametral, Jokowi (Prabowo) vs Anies yang menempatkan Ganjar Pranowo sekedar aksesoris harus ditangkap sebagai peluang untuk memiliki pemimpin yang sejati, sebagai anugerah yang diperjuangkan, bukan pemberian ala pilpres 2014. Kapasitas Ganjar-Mahfud, baik secara intelektual, pengalaman dan jaringan politik teramat cukup untuk memenuhi harapan tersebut. Keduanya muncul dari bawah, berproses secara alamiah (bukan karbitan), dan punya pondasi dukungan politik cukup untuk dimenangkan.
Ketegangan geopolitik yang melibatkan Amerika, China dan Rusia membuat probabilitasnya semakin membesar. Indonesia dan pilpres 2024 tentu akan menjadi battle field perebutan pengaruh para negara adidaya. Bukankah terwujudnya Indonesia merdeka juga terbantu momentum perubahan geopolitik dunia akibat Perang dunia II?
Kemenangan Ganjar Pranowo, sebagai simbol terpilihnya pemimpin merdeka, pemimpin non-proxy, tentu mensyaratkan bersatunya semua elemen bangsa yang sadar. Karena tantangan terberatnya adalah lolos ke putaran kedua, hal yang juga diincar para kreator pemenangan Anies Baswedan.
Gelagat untuk menggagalkan Ganjar dan memuluskan Anies melaju ke putaran kedua nampak kasat mata, ketika Jokowi (sekali lagi karena menerima feeding dari fraktal yang dikendalikan), tanpa malu membuntuti agenda kampanye Ganjar guna menggembosi dukungan pada pasangan Ganjar-Mahfud. Termasuk kabar angin bahwa sebuah faksi besar di kandang banteng, yang belum juga menaikkan perseneling untuk memenangkan Ganjar, boleh jadi tak lepas dari desain besar tersebut.
Kalah menang tentu hal biasa, namun pilihan harusnya dilandasi pemikiran dan perspektif yang cukup. wallahu a’lam bishawab..
Oleh: Ton Abdillah Has