|

Jakarta – Direktur Riset dan Survei Indonesia Political Expert (IPE) Agustanto Suprayoghi menyebut beberapa faktor yang menyebabkan angka pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) masih tinggi berkisar 24%-70%, dan elektabilitas pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden (Capres-Cawapres) tidak menggambarkan kondisi sebenarnya.

Menurut dia, tingginya angka undecided voters jelang pemungutan suara pada 14 Februari 2024, karena ada intervensi aparatur terhadap metode pengambilan sampel di lapangan.

Kemudian, ada ketakutan dari responden bila mengisi lembar jawaban sesuai keinginan mereka, maka bantuan sosial (bansos) seperti Program Keluarga Harapan (PKH) akan berkurang atau dicabut.

“Ada ketakutan dari responden, mereka takut memberi jawaban sesuai yang diinginkan sehingga tidak memberi jawaban, bahkan beberapa sampel desa diganti. Ini menandakan di antara aparatur di level desa masih ada yang pikiran waras dan tidak sepakat dengan apa yang diinstruksikan atasan,” ujar Agus merespons hasil survei lembaga Indopol Survei, Jumat (26/1/2024).

Indopol Survei, tidak merilis hasil survei mengenai elektabilitas capres-cawapres yang dilakukan pada 8-15 Januari 2024 terhadap 1.240 responden di 38 provinsi di Indonesia pada Kamis (25/1/2024).

Adapun alasan tidak merilis elektablitas paslon antara lain, banyak responden menolak mengisi survei karena mengaku ada tekanan atau intimidasi.

Akibat dari sikap para responden itu menyebabkan anomali hasil survei yang tercermin dari angka pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voter) menjadi sangat tinggi berkisar 24%-70%.

Direktur Eksekutif Indopol Survei Ratno Sulistiyanto menyatakan, bahwa anomali perilaku pemilih ditunjukkan dari beberapa temuan di lapangan.

Pertama, ada wilayah kabupaten yang undecided voters tinggi seperti Kabupaten Blitar (85%), Kota Probolinggo (43%), Kabupaten Banyuwangi (20%), Kota Bondowoso (70%), Kabuoaten Jombang (67.5%), Kabupaten Kediri (40%), Kabupaten Lamongan (46%), dan Kabupaten Mojokerto (55%).

Kedua, adanya pergeseran signifikan pendukung paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di kantong pemilih PDI Perjuangan, seperti di wilayah subkultur Mataraman, yakni Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Kediri, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Tulungagung.

Khusus untuk Kabupaten Blitar yang merupakan kota “merah” lahirnya sang Proklamator undecided voters tinggi (85%), hal ini menunjukkan adanya anomali perilaku pemilih.

Gejala anomali perilaku pemilih ini diperkuat permasalahan eksternal dalam penelitian survei, yakni ditemukan beberapa permasalahan di lapangan dari laporan para surveyor seperti,di Jawa Timur (Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Blitar, Kabupaten Banyuwangi tercatat ada permasalah pihak kelurahan tidak memberikan stempel di lembar acak KK dengan alasan sudah mendekati pemilu 2024, agar wilayahnya tidak terpetakan secara politik.

Selain itu, kata surveyor ketua RT menyampaikan bahwa hasil kesepakatan warga di wilayahnya untuk sementara waktu tidak menerima survei, agar wilayahnya tidak terpetakan dan tidak berimbas pada penerimaan bansos.

Di Kabupaten Bangkalan, kepala desa memilihkan nama responden dengan dalih keamanan dan menjaga daerah tetap kondusif secara politik.

Wilayah Kabupaten Lamongan, kepala desa menolak wilayahnya untuk dijadikan wilayah terpilih dalam survei diakibatkan ketakutan akan pengalaman akan pilkada sebelumnya terkait dievaluasi PKH di daerah tersebut

Di wilayah Jawa Barat seperti Kota Depok, Kota Bandung dan Kota Bekasi, permasalahannya ada beberapa RT menyarankan tidak melakukan random KK karena takut ada masalah politik, selain beberapa wilayah kelurahan survei menolak didatangi lembaga survei dengan dalih lembaga survei telah mendukung salah satu paslon capres-cawapres.
Meskipun hal ini adalah kasuistik di wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat sebagai peneliti hal ini adalah masalah serius.

Secara metodologi memang sudah ada solusi untuk mendapatkan responden pengganti, namun Ratno menjelaskan bahwa kejadian ini adalah gejala munculnya anomali perilaku pemilih.

Artinya bahwa angka elektabilitas capres-cawapres 2024 tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.

Jawaban responden memiliki kecenderungan di bawah tekanan karena tidak ingin bansosnya ditarik atau responden menyembunyikan pilihannya dengan menjawab tidak tahu/tidak jawab.

Oleh karena itu, hasil survei Indopol Survei pada periode 8 – 15 Januari 2024 ini diputuskan tidak merilis/mempublikasikan hasil survei, khususnya terkait elektabilitas capres-cawapres dan elektabilitas partai politik 2024 karena munculnya anomali perilaku pemilih tersebut.

Share.
Exit mobile version