Jakarta – Didampingi Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pernyataan pers bahwa presiden boleh berkampanye dan memihak. Hal itu diutarakannya usai serah terima alutsista pesawat dari Pemerintah untuk TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/01/2024).
Dilansir dari acara diskusi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) bertajuk Pemilu Curang yang menyoal netralitas presiden, beberapa akademisi melancarkan kritik tajam kepada Presiden Jokowi.
“Ini respon dari segala macam fenomena. bukan mendadak,” kata Julius Ibrani dari Sekretariat Nasional PBHI.
Perwakilan dari perkumpulan yang telah berdiri dari tahun 1996 itu mencontohkan fenomena yang ia maksud. Di antaranya, presiden yang menggunakan instrumen intelijen negara untuk mengintip data partai, putusan MK yang meloloskan Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres), cuitan Kemenhan di X yang memunculkan tagar prabowo gibran, dan puncaknya adalah ketika Jokowi berdiri di sebelah Prabowo dan panglima TNI ketika menyatakan ketidak netralannya.
Akademisi pertahanan dan keamanan, Connie Rahakundini yang turut menjadi narasumber ikut sumbang suara.
“Jika presiden bersikeras ingin mendukung, apalagi menyatakan di waktu yang tidak tepat alias memberikan kesan kepada rakyat dengan ada tentara di belakangnya dan pimpinan tentara ada di sebelahnya. Maka wajib sebagai presiden mengundurkan diri atau cuti,” kata Connie.
Soal berbagai pihak yang membenarkan pernyataan presiden dengan dasar aturan, Connie mengatakan; “Terima kasih pada masukan soal peraturan-peraturan. Tetapi masalah kita saat ini sudah pada titik melampaui aturan alias beyond any rules ever made and created. Ini sudah kejahatan politik.”
Ada hal menarik yang Connie sampaikan soal gerakan revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi. “Gagasan revolusi mental dari presiden ke rakyat, harus diganti revolusi etika dari rakyat ke presiden,” tandasnya.
Seperti Connie yang mempersoalkan narasi yang membenarkan pernyataan Presiden Jokowi berdasarkan aturan, akademisi Bvitri Susanti turut memberi pandangan.
“Tolong kalau baca pasal (itu yang) utuh. Pasal 299 (Undang-Undang Pemilihan Umum) sebenarnya untuk presiden yang petahana mau kampanye (untuk periode ke-2),” kata Bvitri seraya mencontohkan bahwa Jokowi pada tahun 2019 dan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 itu berhak berkampanye.
Menurut Bvitri, ada ketentuan lagi di pasal 280, 281, 282 bahwa Jokowi berhak berkampanye, kalau ia mendukung partainya. “Pertanyaannya. Baik Gibran maupun Prabowo dari partainya Pak Jokowi yang sekarang atau bukan? Bukan,” jelasnya.
Selain itu, Bvitri menjelaskan juga bahwa ada ayat yang menjelaskan presiden boleh berkampanye jika masuk tim kampanye resmi. Presiden saat ini tidak terdaftar dalam tim sukses.
“Demokrasi kita sudah di pinggir jurang,” kata Bvitri.
Turut hadir sebagai narasumber, Peniliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Prof. Poltak Partogi Nainggolan. Ia mengatakan, “Ini masa yang sangat suram. yang kita lihat adalah permainan kekuasaan. Masyarakat dan media massa perlu sadar. Bisakan kita bisa menciptakan fair election (pemilu yang adil)?
Prof Poltak lanjut mengatakan secara getir, “Ini situasi yang mengkhawatirkan dengan waktu pilpres yang tinggal tiga minggu. Ada keterlibatan intervensi pemimpin untuk mengikuti kepentingannya. Mana yang mau kita korbankan? Apakah ambisi pribadi tapi mengorbankan kepentingan nasional? ini yang harus kita pikirkan.”
Pernyataan Presiden Jokowi dilancarkan setelah capres nomor urut 3 sekaligus Menko Polhukam, Mahfud MD, mengumumkan bahwa dirinya akan mundur dari Kabinet Indonesia Maju sebagai bentuk protes penyalahgunaan kekuasaan yang secara telanjang diperlihatkan pejabat dan aparat di tahun politik ini.