Jakarta – Reforma agraria tak cukup dengan legalisasi, redistribusi, restitusi atau pemulihan hak, namun yang tak kalah penting dalam agenda visi-misi Ganjar Pranowo-Mahfud MD yakni menambahkan terkait penyelesaian konflik. Hal ini penting karena ada lebih dari 6.000 kasus konflik agraria sejak zaman perjuangan kemerdekaan yang belum terselesaikan.
Pernyataan itu disampaikan Direktur Pemberdayaan Perempuan Tim Pemenangan Nasional (TPN) Sandrayati Moniaga pada diskusi media pascadebat ke-4 di Media Center TPN, Senin, 22 Februari 2024. Dalam diskusi media dipandu Direktur Eksekutif Komunikasi Informasi dan Juru Bicara TPN Tomi Aryanto ini, Sandrayati didampingi anggota Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud, Satya Heragandi dan Rieke Diah Pitaloka, serta Sekretaris Eksekutif TPN Heru Dewanto.
Menurut Sandra, Reforma Agraria Ganjar-Mahfud melanjutkan agenda Joko Widodo yang saat ini terlalu ‘heavy’ kepada legalisasi dengan bagi-bagi sertifikat kepemilikan lahan.
“Dalam Undang-Undang, Perpres Reforma Agraria serta TAP MPR Nomor IX/2021 jelas disampaikan harus ada redistribusi, restitusi dan penyelesaian konflik. Dokumen visi misi Ganjar – Mahfud menjelaskan penyiapan pembentukan lembaga khusus penyelesaian konflik serta pengadilan agraria,” papar kandidat doktor di Universitas Leiden, Belanda itu.
Terkait masyarakat adat, Sandra menyatakan bahwa isu ini merupakan isu global, tak hanya di Indonesia yang memiliki sistem nagari maupun tipe-tipe pemerintahan khas di berbagai daerah.
Sayangnya, lanjut Sandra, masyarakat adat masih mengalami berbagai diskriminasi, seperti masih banyak yang belum menerima KTP.
“Di sinilah pentingnya Ganjar-Mahfud memprioritaskan pemberian KTP bagi yang belum punya KTP, terutama menjelang program KTP Sakti nanti,” ungkapnya.
Sandra juga mengingatkan, Mahfud MD merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat MK memutuskan menerima gugatan dari masyarakat adat untuk mengoreksi definisi dalam UU Kehutanan yang menyatakan bahwa hutan adat merupakan hutan negara.
“Pada 2012, MK mencoret kata ‘negara’ dan menjadikan definisi bahwa hutan negara adalah hutan yang berada di wilayah adat. Ini keputusan penting yang menerjemahkan makna dari konstitusi dan menjadi basis pengakuan terhadap peraturan hak masyarakat adat,” kenang komisioner Komnas HAM 2017-2022 ini.
Sandra melanjutkan, sejak 2014, Joko Widodo sudah menjanjikan ada RUU Masyarakat Adat termasuk membentuk lembaga khusus masyarakat adat di bawah kepresidenan.
“Yang dilakukan baru sebagian, selanjutnya Ganjar-Mahfud yang akan menyempurnakan program itu,” pungkasnya.
Sandra menegaskan, masyarakat adat merupakan garda terdepan dalam membantu menyelesaikan permasalahan isu lingkungan global.
“Hutan terbaik saat ini ada di wilayah masyarakat adat. Kita bersyukur punya masyarakat adat berpengetahuan tinggi dan hidup berdampingan dengan alam. Banyak kekayaan yang dapat dikontribusikan oleh masyarakat adat, dan itu semua hanya bisa dilakukan jika ada pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat,” pungkasnya.