Jakarta –Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis menegaskan, Pilpres 2024 adalah yang paling tidak demokratis sejak Reformasi ’98.
Ia mengatakan, sejumlah fakta di lapangan selama masa kampanye menimbulkan kekhawatiran adanya dugaan konspirasi dan kecurangan pada Pilpres 2024.
“Fakta membuktikan adanya upaya untuk memenangkan salah satu paslon dan adanya dugaan kecurangan yang telah diamati. Ini dalam masyarakat, yang kita sebut dalam ilmu politik dan patron client, itu bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh patronnya,” kata Todung pada konferensi pers di Media Lounge TPN Ganjar-Mahfud, di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, (17/1/2024).
Dia menunjukkan, salah satu dugaan kecurangan terjadi di Kabupaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara, seiring munculnya rekaman suara ajakan memilih Prabowo-Gibran, yang diduga dilakukan pejabat setempat.
Pada rekaman tersebut, pejabat setempat, seperti Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), Dandim, Polri, dan Pj Bupati Batu Bara, yang diduga meminta warganya memilih pasangan Calon Nomor Urut 2.
Todung juga merujuk pada sebuah video yang beredar, berisi konten Kepala Bidang (Kabid) SMP Dinas Pendidikan Kota Medan, yang juga Sekretaris PGRI Kota Medan, Andy Yudhistira, sedang mengajak para kepala sekolah untuk memilih Prabowo-Gibran.
Todung berpendapat bahwa tindakan itu dapat mempengaruhi perilaku para pemilih, yang dikenal sebagai “voting behavior.”
Dari wilayah Timur Indonesia, aktivis HAM itu juga menyoroti video yang menampilkan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Muhammad Hasbi, yang mengklaim bahwa Presiden Joko Widodo akan mengangkat jutaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika pasangan Prabowo-Gibran menang.
Di tempat yang sama, Sekretaris TPN Ganjar-Mahfud, Hasto Kritiyanto menyoroti munculnya papan reklame Wali Kota Medan Bobby Nasution bersama Capres 2 Prabowo Subianto. TPN, menurut Hasto, akan melaporkan hal tersebut.
“Itu bukan hanya wali kota, presiden juga tampil di baliho dan tv, terang-terangan mendukung Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ini adalah satu hal yang kita tak pernah bayangkan saat Pilpres. Politically incorrect! Ini sudah mencederai demokrasi di Indonesia,” ujar Hasto.
Senada dengan Hasto, Todung juga menyayangkan kinerja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang hanya bekerja berdasarkan laporan, bukan melakukan tindakan preventif dengan melakukan investigasi di lapangan agar mencegah kecurangan.
“Ini Pilpres yang menurut saya, paling tidak demokratis, setelah Reformasi 98,” kata Todung.