Jakarta – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kembali menggelar sidang dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di kantor DKPP, Petojo, Jakarta. Agenda persidangan adalah pemeriksaan saksi ahli terkait dugaan pelanggaran kode etik anggota KPU karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Persidangan dipimpin oleh Ketua DKPP Heddy Lugito didampingi oleh empat anggotanya, yaitu Ratna Dewi Pettalolo, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, J Kristiadi, dan Tio Aliansyah. Sementara para saksi yang dihadirkan adalah Ratno Lukito, Charles Simabura, dan Muhammad Rullyandi.
Dalam kesaksiannya, Ratna mengatakan bahwa putusan MK seharusnya ditindaklanjuti oleh DPR dan Pemerintah, masing-masing melalui legislative review dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Namun KPU menerima pedaftaran Gibran sebagai cawapres tanpa merevisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau tanpa adanya penerbitan Perpu oleh pemerintah.
Saksi ahli lainnya, Charles Simabura, menyebut para KPU telah melanggar prinsip kepastian hukum karena bertindak tidak sesuai yurisdiksinya.
“Menurut Ahli, hal pertama dan utama yang harus dilakukan oleh KPU dalam menindaklanjuti Putusan MK 90/2023 adalah menyusun dan mengajukan Rancangan perubahan Peraturan KPU 19/2023,” kata Charles.
Berbeda dengan dua saksi ahli lainnya, Muhammad Rullyandi justru menilai tindakan KPU sudah tepat dalam menindaklanjuti Putusan MK 90/2023. Ia merujuk pada Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 yang menyebut Putusan MK sama seperti undang-undang yang harus segera dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan. Maka tindakan KPU yang menindaklanjuti Putusan MK dengan segera mengirim surat kepada Komisi II DPR pada 17 Oktober 2023 sudah tepat.
“Karena yang diuji obyek yurisdiksinya adalah Pemilu, maka dia (KPU) wajib melaksanakan karena ada perintah mahkamah konstitusi. Ini final and binding, erga omnes,” kata Rullyandi.