|

Serang – Kontras dengan kejadian pencopotan spanduk dan baliho Ganjar Pranowo saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Pasar Bulan, Batu Bulan, Gianyar, Bali (31/10/2023), justru yang terjadi di Serang, Banten sebaliknya.

Kunjungan Presiden Joko Widodo di Desa Margagiri, Bojonegara, Serang, Senin (8/1/2024) dipenuhi puluhan spanduk Capres nomor urut 2 tanpa “dicopot”.

Alih-alih diturunkan, justru baliho dan spanduk yang bergambar wajah Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka dibiarkan dan “terkesan” ikut mendompleng kegiatan RI-1. Spanduk itu tampak mencolok saat Joko Widodo melempar bingkisan kepada warga.

Kunjungan Joko Widodo ke Banten untuk memberikan pengarahan kepada ratusan kepala desa terkait pengelolaan dana desa. Di Desa Margagiri, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, sepanjang jalan menuju lokasi tempat kunjungan, terdapat puluhan spanduk Capres nomor urut 2 terbentang di sepanjang jalan.

Selain itu, tepat di depan pintu masuk lokasi kegiatan, sejumlah alat peraga kampanye (APK) atau spanduk pasangan Prabowo-Gibran tampak terbentang dengan ukuran besar di sejumlah titik.

Satu di antaranya spanduk wajah Prabowo-Gibran dengan tulisan ‘Bersama Indonesia Maju’ terpasang tepat di samping spanduk bertuliskan ‘Terima Kasih Bapak Presiden Joko Widodo’ arah pintu masuk lokasi kegiatan.

Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi menilai perilaku aparat yang ingin “menyenangkan” presiden identik dengan cara-cara aparat di masa Orde Baru. Sementara presidennya sendiri menikmati pujian dan elu-elu dari massa yang terlihat disetting sejak awal.

Ia berpendapat, Joko Widodo pasti tahu dan kenapa diam melihat kejadian yang kontras baik di Gianyar maupun di Serang, itu karena anaknya sendiri ikut maju. Dia tidak bisa netral karena berkepentingan dengan majunya Gibran sebagai Cawapresnya Prabowo.

“Joko Widodo sejak awal menjadi contoh buruk dari praktik-praktik kenegaraan yang demokratis. Perilaku Joko Widodo sudah melebihi level mertuanya Capres Prabowo dan itu tidak baik,” jelas Ari Junaedi

Menurut pengajar program pascasarjana di sejumlah kampus ternama di tanah air ini, tidak ada jalan lain untuk pelaksanaan Pemilu yang demokratis selain menuntut presiden yang tidak bisa netral untuk mundur dari jabatannya.

Perlakuan tak adil

Pendapat senada disampaikan pakar komunikasi Universitas Airlangga Henri Subiakto.  Ia menyoroti, saat kunjungan Joko Widodo ke Bali baliho Ganjar dan Mahfud di sekitar Balai Budaya Batubulan, Gianyar, Bali, pada dicopoti, tapi giliran Joko Widodo ke Banten bagi bagi bansos, sepanduk capres 02 terpasang bertebaran disana. “Ada perlakuan tidak sama dan tidak adil,” tegasnya.

Dalam pandangan Henri, sikap ini jelas-jelas bukti nyata presiden tidak netral. Presiden tidak malu menggunakan Bansos dari negara untuk kepentingan politik keluarga.

“Ini baru tindakan yang nyata-nyata nampak. Bagaimana dengan ketidaknetralan Presiden yang tidak kelihatan? Bisa lebih parah dan mengkhawatirkan,” ungkapnya.

Sayangnya, lanjut Henri, masih banyak orang melihat pemilu sekarang dengan cara-cara berpikir normal. Bahkan para akademisi pun masih berpikir demikian. Banyak yang tidak menyadari, bahwa belakangan ini tindakan Joko Widodo sudah tidak normal lagi.

“Dia melakukan apapun dengan cara apapun agar pasangan capres yang dia dukung menang, atau selamat dari kekalahan. Apa hal seperti itu  normal?” tanyanya.

Setelah kasus Mahkamah Konstitusi, semakin banyak bukti nyata yg dilakukan tanpa malu oleh Presiden secara terang terangan telah berpihak. “Dia tidak bisa berperan sebagai negarawan yang adil dan jujur di masa Pemilu ini. Dia lebih sebagai politisi yang tricky memanfaatkan popularitas, kedudukannya sbg Presiden untuk memenangkan pasangan anaknya,” pungkasnya.

Share.
Exit mobile version