Jakarta – DPP PDI Perjuangan (PDIP) menyebutkan ada upaya pengondisian lembaga survei untuk menarasikan Pilpres 2024 satu putaran. PDIP memandang perlunya satu komite independen untuk memantau kredibilitas lembaga survei dalam melakukan riset agar demokrasi Indonesia bisa terjaga.
“Jadi, diusulkan saja nanti pembentukan semacam komite independen dari kalangan perguruan tinggi untuk mengaudit hasil-hasil survei karena ini terkait dengan kepentingan rakyat, terkait dengan kualitas demokrasi,” kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam konferensi pers awal tahun di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Selasa (2/1).
Menurut dia, komite independen ini akan mengaudit lembaga survei mana yang menggunakan metodologi secara benar.
Ketua Badan Kebudayaan Nasional (BKN) PDIP Aria Bima menambahkan dirinya mendengar informasi pengondisian dari koleganya yang berada di kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Aria Bima sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI sering berdiskusi mengenai Pilpres dengan rekan-rekan dari pendukung AMIN di NasDem, PKB, dan PKS.
“Saya dengan teman-teman Komisi VI dari 01, memang melihat ada satu desain untuk menggiring opini satu putaran. Jadi, kami melihat ada lembaga survei yang diharapkan hasil-hasil itu satu putaran. Kami cermati betul, antarlembaga survei sendiri harusnya dipertemukan untuk menguji dan meneliti juga didalam mengambil respondennya seperti apa, kenapa misalnya untuk swing voters itu masih ada juga yang terlalu tinggi. Kenapa justru paslon yang disuruh komentar, harusnya media baik itu TV One Kompas CNN, dan lain-lain mempertemukan antar lembaga survei, untuk menguji teknologi secara akademis,” kata Aria Bima.
Aria Bima memandang ada pembentukan yang sangat jelas dalam opini satu putaran lewat lembaga survei. Di sisi lain, lanjut Aria Bima, seharusnya lembaga survei bertugas untuk memotret realitas melalui sampel atau responden.
“Bukan menciptakan hasil yang sesuai dengan keinginan membangun opini satu putaran,” kata dia.
Aria Bima mencontohkan ketika lembaga survei terjun menurunkan kuesioner terhadap satu sampel yang sudah ditentukan dalam satu desa, RT, RW, harus meminta izin ke kapolsek. Kemudian dari Kapolsek ke Bhabinkatibmas, semua proses itu waktunya sepuluh hari sampai keluar izin.
“Sepuluh hari sudah diketahui titik mana sampel atau responden yang akan dituruni kuesioner yang ada. Ada kecenderungan sepuluh hari inilah sampel yang akan diambil sudah digarap,” jelas Aria Bima.
“Ini yang kami temukan, dan di situ secara metodologis memang mungkin bisa dipertanggugjawabkan. Tetapi kenapa sekarang untuk turun satu survei harus mengalami izin yang sedemikian menjadi tidak akademis. Ini yang perlu dicermati dan hasilnya ada kecenderungan orang-orang pikiran satu putaran akan dipaksakan oleh lembaga survei untuk bangun opini. Dan kami tidak ingin target itu akan diselesaikan dengan ketidaknetralitasan aparat,” jelas dia.
Pada kenyataannya, lanjut Aria Bima, ketika Ganjar Pranowo-Mahfud MD atau Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, partisipasi publik terlihat sangat tinggi.
Fenomena ini, lanjut dia, tidak masuk akal bila melihat opini publik menginginkan satu putaran.
“Itu yang menurut kami ada kecenderungan desain ini sering kami komunikasikan. Tentang apa hasilnya (dengan AMIN), ya, kita sepakat saja. Ada kecenderungan kami sepakat dua putaran,” tegas Aria Bima.