Banyumas – Istri Capres nomor urut tiga, Ganjar Pranowo, Siti Atikoh Supriyanti, melanjutkan safari politiknya ke Kampoeng Nopia Mino, Desa Wisata Pekunden, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (29/12/2023).
Atikoh berkesempatan untuk praktik membuat kuliner khas Banyumas mino mulai dari proses pengulenan hingga pembakaran. Mino adalah singkatan dari mini nopia. Sementara ada pula yang berukuran normal disebut nopia.
Ada dua juru masak yang mendampingi Atikoh mengolah adonan. Atikoh langsung memakai sarung tangan supaya adonan mino tetap terjaga kebersihannya.
Ia kemudian mengaduk adonan yang terbuat dari tepung terigu, gula pasir, dan minyak sayur. Adonan itu akan dijadikan kulitan mino. Sementara untuk isiannya dari campuran gula jawa dan air.
“Berproses ya. Semua harus melalui proses. Kita tahunya tinggal makan saja. Ternyata ada hasil karya dan kerja keras seseorang,” ujar Atikoh sembari mengisi kulitan mino dengan gula jawa.
Adonan kulitan tersebut lalu dibentuk bulat dan diberi isian di dalamnya sehingga membentuk seperti telur berukuran kecil.
Usai menguleni adonan, Atikoh kemudian beranjak menuju tempat pembakaran mino. Adonan mino yang yang sudah dibulatkan itu ditempelkan di dinding genthong (tungku), kemudian dibakar dengan kayu bakar sampai matang.
“Cara nempele (menempelnya), kepriwe (bagaimana)?,” tanya Atikoh kepada juru masak.
Juru masak bernama Nano itu kemudian menjelaskan, bahwa genthong terbuat dari tanah liat. Dan didalamnya ada batu untuk melindungi panas.
“Yang ditempel yang dilipat supaya gulanya ngga keluar, kena tangan,” ujar Nano kepada Atikoh.
Menurut Nano, dalam satu genthong bisa membakar 800 mino. Untuk sekali bakar memerlukan waktu kurang lebih 45 menit. Satu kotak mino biasanya berisikan 16 buah yang dapat dibeli dengan harga Rp10.000.
Melihat proses pembuatan Mino dari tahap ke tahap, Atikoh menyampaikan ada nilai edukasi terkandung di dalamnya yaitu untuk mendapatkan hasil mino yang baik harus melewati proses panjang dan kehati-hatian.
Tak hanya itu, kata Atikoh, tangan-tangan terampil para juru masak juga menentukan citra rasa mino yang lezat.
“Ini adalah wisata edukasi yang luar biasa menurut saya, jadi anak itu juga dididik untuk mengetahui bahwa yang terlihat tinggal diplok tinggal dimakan, itu ada proses produksinya, jadi setiap produk itu ada suatu prosesnya dan di setiap proses itu ada tenaga dan kemampuan,” tutur Atikoh.
Atikoh menambahkan proses pembuatan mino juga mengajarkan kepada anak-anak muda tentang bagaimana meningkatkan skill untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari sekaligus menjadi pengingat bahwa tidak ada proses yang instan.
“Ini edukasi yang luar biasa untuk anak-anak mereka dibekali soft skill terkait bagaimana mereka harus survival ketika harus menyediakan makan sendiri ketika di rumah. Jadi anak tidak dididik untuk instan ya pak ya. Semua melalui proses, perjuangan, dan ini adalah local wisdom, ada nopia sama mino,” tutup Atikoh.