Jakarta – Ketidaknetralan aparat di Pilpres 2024 banyak dikeluhkan publik, tidak saja oleh elit partai politik, akademisi tetapi masyarakat awam.
Walau bantahan demi bantahan dikemukakan oleh aparat yang bersangkutan, pemerintah pun juga terkesan menghindar bahkan membantah adanya tudingan tersebut walau bukti-bukti di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya.
Terbaru, Penjabat Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana bahkan ikut menyambut kedatangan Calon Presiden yang diusung Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto di Lanud Ahmad Yani, Semarang, Sabtu, 9 Desember 2023.
Tidak hanya menyambut, busana yang dikenakan penjabat Gubernur Jawa Tengah yang ditunjuk langsung oleh Presiden Jokowi itu pun “senada” dengan warna busana yang dipakai Prabowo Subianto dan anggota Tim Kampanye Nasional Prabowo – Gibran.
Prabowo sendiri berkunjung ke Semarang saat itu untuk menghadiri HUT Partai Solidaritas Indonesia di Stadion Jatidiri.
Pengamat komunikasi politik dari Nusakom Pratama Institute, Ari Junaedi mengaku tidak heran dengan keberpihakan dari aparat sekelas Nana Sudjana mengingat keberpihakan memang sengaja “diskenariokan” oleh Jokowi sejak awal menunjuk penjabat-penjabat gubernur demi kepentingan suksesi yang diinginkannya.
“Sebagai penjabat gubernur yang harus netral dan independen, kedatangan Nana Sudjana tidak bisa dibenarkan dan membuat miris dengan ketidakprofesionalannya. Nana harusnya bisa mendahulukan kepentingan publik ketimbang kepentingan sempit dalam dukung mendukung Capres. Dia lupa, yang mengangkat dirinya bukan semata karena Jokowi karena yang menggaji dirinya bahkan bisa menikmati fasilitas negara karena uang rakyat. Bukan uang dari Jokowi atau Prabowo,” sergah Ari Junaedi.
Dalam amatan pengajar di program pascasarna di berbagai universitas ini, cara-cara Nana sudah terpolakan dan mirip dengan cara-cara penjabat gubernur yang lain seperti di Jakarta, Bali, Jawa Barat dan lain-lain yang begitu “welcome” dengan Paslon Prabowo-Gibran tetapi kurang akomodatif dengan Paslon lain. Membantah dengan cara apapun, publik tidak bisa dibohongi mengingat kekuatan media sosial begitu ampuh memblejeti kelakuan pejabat.
“Bawaslu sebaiknya jangan diam membisu. Bawaslu harus profesional dan berani memberi teguran bahkan merekomendasikan sanksi. Tipikal penjabat yang diangkat presiden memang memiliki kelemahan mendasar. Mereka menganggap bos yang mengangkatnya sebagai dulih sang raja, bukan daulat rakyat yang dijunjung tinggi. Memalukan sekali,” cetus Ari Junaedi.